Lampung Selatan, 15 Juni 2025 — Penanganan dugaan kekerasan seksual di Institut Teknologi Sumatera (ITERA) kembali menuai sorotan tajam. Korban dalam kasus tersebut saat ini dilarikan ke rumah sakit setelah mengalami tekanan mental berat dan diduga melakukan percobaan bunuh diri. Peristiwa tragis ini diduga kuat sebagai dampak dari lambannya respons Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Perguruan Tinggi (Satgas PPKPT) ITERA.
Meski peristiwa kekerasan disebut terjadi sejak Februari 2024, langkah nyata dari Satgas baru terlihat lebih dari satu tahun kemudian, tepatnya pada 21 April 2025, saat mereka menerima tembusan surat somasi dari pengacara korban. Tembusan itu pun belum dikategorikan sebagai laporan resmi, namun menjadi pemicu awal tindak lanjut dari pihak kampus.
Pertemuan antara tim Satgas dan korban baru dilakukan pada 28 April 2025. Korban menyatakan ingin membawa kasus ini ke ranah hukum, namun sebelumnya menempuh jalur internal kampus sebagai bentuk iktikad baik. Di hari yang sama, Satgas juga memanggil pihak terlapor untuk klarifikasi. Setelah itu, korban baru mulai mendapatkan pendampingan psikologis dari Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia (PPSDM) ITERA dalam rentang 21 hingga 28 Mei 2025.
Selama proses asesmen, korban menjalani tiga sesi pendampingan. Biaya layanan ditanggung kampus. Namun, respons yang dianggap terlambat ini tidak mampu mencegah memburuknya kondisi psikis korban. Akibat tekanan yang terus bertambah, korban akhirnya dilarikan ke rumah sakit usai diduga mencoba bunuh diri.
Ketua Satgas PPKPT ITERA, Dr. Winarti Nurhayu, S.Si., menyatakan bahwa proses penanganan masih berjalan dan dilakukan dengan prinsip kehati-hatian. “Kami berkomitmen untuk menindaklanjuti setiap laporan kekerasan dengan serius dan penuh kehati-hatian. Proses kami lakukan tidak untuk dipercepat atau diperlambat, melainkan untuk memastikan bahwa setiap langkah berjalan sesuai prosedur dan memberikan perlindungan maksimal kepada korban,” ujarnya.
Namun pernyataan tersebut justru dikritik oleh aktivis perempuan dari DAMAR, Desi. Ia menyebut bahwa pernyataan Ketua Satgas tidak selaras dengan kenyataan di lapangan. “Apa yang disampaikan Ketua Satgas sangat bertentangan dengan fakta. Korban sampai melakukan percobaan bunuh diri bukan karena tidak ditangani, tapi karena hanya cepat di ucapan, lamban di tindakan. Di sinilah nyawa dan keselamatan korban dipertaruhkan,” tegas Desi.
Menurutnya, kasus ini adalah gambaran nyata bagaimana institusi pendidikan masih gagal menerapkan prinsip perlindungan secara konkret dan menyeluruh terhadap korban kekerasan seksual. Ia juga mendesak agar ITERA melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kinerja Satgas dan memastikan bahwa tidak ada korban lain yang mengalami hal serupa.
Hingga berita ini diterbitkan, belum ada informasi lanjutan dari pengacara korban terkait laporan ke kepolisian. Sementara itu, desakan publik terus menguat agar ITERA tidak hanya menjadikan slogan “zero toleransi terhadap kekerasan seksual” sebagai formalitas semata, melainkan membuktikannya lewat langkah cepat, tanggap, dan berpihak sepenuhnya kepada korban.