Oleh: Prof. Dr. KH. Sutan Nasomal, SH, MH
(Pakar Hukum Pendidikan Internasional, Presiden Partai Oposisi Merdeka)
Gagasan agar pelajar masuk sekolah pukul 06.00 pagi yang belakangan ini digembar-gemborkan oleh sejumlah kepala daerah sungguh tidak berdasar dan terkesan “ngelantur”. Tidak ada satu pun negara di dunia yang menerapkan secara masif sistem masuk sekolah sepagi itu. Kalaupun ada, itu hanya terjadi di sekolah-sekolah khusus dan bukan merupakan kebijakan nasional yang disahkan oleh kementerian pendidikan mereka.
Saya sebagai pakar hukum pendidikan internasional, dengan tegas menyatakan bahwa pemaksaan kebijakan semacam ini sangat tidak relevan, bahkan bisa merusak masa depan anak-anak Indonesia.
Berbagai riset dan pengalaman lapangan menunjukkan bahwa kemampuan otak pelajar Indonesia untuk fokus secara optimal hanya berkisar tiga jam saja dalam satu sesi belajar. Setelah itu, daya serap menurun drastis. Materi yang disampaikan guru pun akan menjadi sia-sia karena tidak mampu lagi ditangkap oleh otak pelajar yang kelelahan. Ini bukan sekadar asumsi, tapi temuan dari berbagai pakar kesehatan dan pendidikan.
Kondisi sosial budaya dan pola hidup masyarakat Indonesia juga sangat berbeda dengan negara-negara lain. Maka, sangat keliru jika pola pendidikan luar negeri secara mentah-mentah diterapkan di Indonesia. Pendidikan kita tidak tertinggal. Yang tertinggal adalah pemahaman sebagian pemimpin daerah terhadap psikologi dan karakter pelajar Indonesia.
Lebih miris lagi, saat pendidikan menjadi tidak menyenangkan, anak-anak akan merasa tertekan. Berdasarkan data yang saya amati, sekitar 30% anak mengalami dropout karena sekolah justru menjadi ruang penuh tekanan, bukan tempat menyenangkan untuk belajar. 20% lainnya kesulitan mengikuti pelajaran karena materi terlalu padat dan tidak sesuai usia.
Kesehatan mental pelajar harus jadi perhatian utama. Anak usia sekolah idealnya mulai belajar jam 08.00 dan selesai pukul 13.00, lalu diberi waktu istirahat dua jam di siang hari. Ini penting untuk menjaga keseimbangan antara aktivitas belajar dan kesehatan otak serta jiwanya.
Saya menghimbau kepada para kepala daerah agar tidak gegabah membuat kebijakan pendidikan yang tidak berbasis pada ilmu. Bila masih ngotot memaksakan anak masuk sekolah jam 6 pagi dan pulang jam 3 sore, saya sarankan kepala daerah seperti itu segera konsultasi ke dokter jiwa.
Kementerian Pendidikan dan Kementerian Kesehatan harus bersikap tegas. Jangan biarkan anak-anak Indonesia dijadikan “kelinci percobaan” dari kebijakan absurd yang lahir dari ambisi dan tidak berdasarkan kajian ilmiah.
Ingat, pelajar bukan robot. Mereka punya jiwa, tubuh, dan hak untuk bahagia dalam menuntut ilmu.